ZonaBangsa.Com-Lampung
tulis ini kira-kira bertepatan waktu dengan keadaan akhir september di tahun 1965, dimana Pancasila sebagai konsensus Negara, ideologi bangsa dicoba untuk diganti oleh komunis. Jika komunis tak ditumpas oleh RPKAD bersama rakyat saat itu maka Demokrasi Pancasila tak akan dapat kita rasakan dan nikmati saat ini.
Boleh jadi rakyat akan dipaksa memilih tanpa pilihan dalam suasana kebatinan yang ketakutan, dan organ pemerintahan bahkan mungkin sampai kecamatan akan diisi oleh polit Biro komunis yang bekerja bukan untuk rakyat tapi untuk kepentingan politik komunisme. Tak akan ada netralitas ASN seperti dalam Demokrasi Pancasila kita saat ini.
Terima kasih tak terhingga kita semua untuk pejuang-pejuang Pancasilais yang telah berhasil menjaga Indonesia. Doa kita untuk para pahlawan yang gugur dalam menjaga Pancasila.
Kita semua memiliki kewajiban konstitusional sekaligus tanggung jawab untuk memastikan ASN netral dalam kontestasi Pilkada 2024 ini.
Sebab netralitas ASN ini bukanlah sekedar basa basi atau jargon semata dalam leaflet dan famplet pemerintahan. Namun lebih dari itu Netralitas adalah kunci dari terjaminnya kontinuitas pelayanan publik. Pelanggaran terhadap netralitas dalam Pilkada jelas ada sanksinya.
Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 2014 mewajibkan ASN untuk patuh tanpa syarat terhadap asas netralitas. Mirisnya masih ada saja oknum ASN yang tak netral.
Keberanian ASN untuk berpihak ini pasti ada sebabnya. Yap….benar karena mungkin…SANKSI netralitas dalam pemilu tak pernah dijatuhkan. Akhirnya jadi kebiasaan. Sesederhana itu.
Kita banyak mendapat laporan dari kawan-kawan, tentang netralitas ASN utamanya oknum Camat. Ini bahaya kalo oknum Camat ikut berpolitik !!!.
Meskipun baru sekedar informasi, tentu tidak salah bila pihak yang berwenang mendalami informasi ini. Tak sulit mendengar kabar dimana masih ada oknum Camat yang saat ini menjadi alat untuk menekan Kepala Desa agar memenangkan kepentingan calonkada tertentu. Tidak saja dalam kontestasi pilkada bahkan indikasi ini telah diberitakan oleh media online sejak bulan april lalu.
Namun, seperti kentut yang tertiup angin baunya itu sebentar saja, lalu hilang tak tau arah, lalu isu penting ini hilang dari perhatian publik.
Kita perlu tau saat ini banyak Kepala Desa merasa seperti berada dalam posisi simalakama. Bagaimana tidak, sebagai pelaksana anggaran dana desa, Kepala Desa diperiksa oleh Inspektorat dan khabar burungnya temuan pemeriksaan Inspektorat ini mencapai angka yang fantastis di setiap desanya. Bahkan lebih fantastis lagi ketika diakumulasi tiap tahunnya. Wuih ngeri angkanya!!.
Temuan Pemeriksaan atas Dana Desa inilah dalam simulasi pikiran kita yang dijadikan alat tukar elektoral. Operatornya ya oknum Camat. Meski organ ini hanya salah satu dari 3 pilar pembinaan pengawasan pemerintahan Desa, tapi cukup efektif merusak Netralitas Kades.
Bayangkan bagaimana jika Inspektorat dan Dinas PMD ikut serta….?, beh..tambah seru ini permainan. Satu organ mengorek temuan pemeriksaan, satu organ menebar ancaman dan satu lagi dengan gaya persuasifnya membujuk rayu untuk ikut arahan.
Balik lagi ke modus operandinya oknum Camat yang tentu mudah ditebak, kira-kira ginilah kalo kita membayangkan situasi dalam percakapan.
Oknum Camat : “Bu/Pak Kades…ini hasil pemeriksaan Inspektorat tahun ini temuannya banyak, dan kalo diakumulasi dari tahun ke tahun Bu/Pak Kades jumlahnya sekian-sekian… banyak sekali ini yang harus di bayarkan…
Kades : “Ya ampun Pak Camat…jadi gimana ini. Semua anggaran dana desa ini sudah saya gunakan sesuai dengan aturan, tapi kok masih banyak temuan ya. Camat kan tau…kalo dana non budgeter yang untuk ini untuk itu juga asalnya ya dari dana desa itu.
Oknum Camat : Gampang Bu/Pak Kades, kalian bisa siapkan uang sejumlah 20 atau 25 juta untuk membantu kegiatan pencalonan kepala daerah kita, dan asal dikampung sampeyan “Bapak” menang, aman sudah. Tapi kalo kalah…ya mohon maaf temuan ini saya akan laporkan ke penegak hukum.
Nah.. kira-kira begitulah dialog imaginer pembicaraan tertutup antara oknum Camat dan Kades dalam konteks pilkada ini. Kadesnya takut, dan terjebak dalam permainan. Akhirnya Kades lagi yang jadi korban. Emang buat banner, ngasih warga untuk milih dan lain-lain pakai gajinya kades.…enggak akan cukup. Pasti “ngakali” dana desa lagi kan dan ujungnya-ujungnya jadi temuan lagi kan.
Kita bolehlah sesekali membayangkan jika berada dalam posisi sebagai Kepala Desa, diancam dilaporkan kepada penegak hukum urusan dana desa jika tidak mau memenangkan calon tertentu. Bagaimana rasanya itu…yah pastilah serasa dalam posisi Simalakama. Dimakan mati emak gak dimakan mati bapak.
Kita sudah katakan manakala berjumpa dengan Kades untuk tak takut jika mungkin ada ancaman oknum Camat, oknum Kadis, oknum Inspektorat. Tapi mau gimana lagi takutnya malah lebih dari takutnya kepada penegak hukum itu sendiri. Aneh kan kalau itu dibiarkan bisa jadi akan memunculkan penyakit gangguan kecemasan antisipatori.
Pepatah lama katakan bahwa ketakutan itu adalah pengetahuan yang tak lengkap. Jadi boleh disimpulkan bahwa mungkin selama ini, tak ada penjelasan tentang posisi Camat yang bukan lagi sebagai atasan Kepala Desa seperti masa lalu.
Bahkan jika mengacu PP No 43 tahun 2014, kita tahu bahwa Camat itu bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan Desa melalui Fasilitasi, rekomendasi dan kordinasi. Tentu semua tugas itu ditujukan agar pelayanan publik menjadi lebih baik.
Jadi kita bersaran agar semua pihak yang berwenang daalam penyelenggaraan pilkada untuk segera mengadakan arahan disetiap kecamatan kepada semua Kepala Desa untuk Netral dalam Pilkada sesuai amanat Undang Undang Pemilukada.
Sediakan kertas keluhan dalam amplop yang langsung diserahkan oleh Kepala Desa kepada Aden soal prilaku Camat, utamanya terkait netralitas dalam Pilkada.
Nah…jika ada diantara surat-surat itu yang mengatakan tekanan oknum Camat kepada Kades dalam hal pilihan politik maka pihak yang berwenang dalam pemilukada bisa menindaklanjutinya dengan melakukan tahapan pemeriksaan.
Mengakhiri kalimat, bahwa netralitas ASN ini termasuk pelanggaran disiplin sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 tahun 2021 sanksinya bahkan sampai pelanggaran disiplin berat. (Rls)
Tulisan dikutif dari berbagai sumber sebagai bentuk kepedulian terhadap demokrasi.