Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra Isi Orasi Ilmiah Di Dies Natalis Ke-17 Tahun UBB

oleh -1550 Dilihat

Balun IjukZonaBangsa.com |

Dies Natalis adalah peringatan hari lahir suatu perguruan tinggi dan dianggap sebagai peristiwa penting yang menandai awal perjalanan dari suatu lembaga pendidikan.

Peringatan Dies Natalis tidak hanya dijadikan sebagai penanda awal perjalanan namun juga sebagai tolak ukur tumbuh dan berkembangnya suatu lembaga pendidikan.

Demikian juga halnya dengan Universitas Negeri Bangka Belitung (UBB) yang baru saja merayakan Dies Natalis ke 17 tahunnya, Rabu pagi, 12 April 2023. Bertempat di Balai Besar Peradaban, Gedung Rektorat UBB, kegiatan peringatan Dies Natalis tersebut digelar dalam Rapat Terbuka Senat dengan mengangkat tema “17 Tahun UBB : Terus Bertumbuh Membangun Peradaban”,

Sebagai suatu tradisi akademik di suatu universitas, peringatan Dies Natalis UBB kali ini diisi dengan orasi ilmiah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Salah satu Guru Besar di Universitas Indonesia ini juga merupakan anggota Dewan Pembina UBB, menyampaikan orasi ilmiahnya tentang Memperkuat Kembali Posisi MPR Pasca Amandemen UUD 1945.

Dalam wawancara bersama awak media, Prof. Yusril mengatakan ini semata-mata orasi akademik yang terlepas dari persoalan politik yang berkembang sekarang.

“Saya diminta untuk menyampaikan orasi ilmiah sebagai suatu tradisi akademik di universitas pada acara Dies Natalis ke 17 UBB ini. Saya sendiri Guru Besar di UI tapi juga menjadi anggota Dewan Pembina UBB. Tadi saya menyampaikan pidato tentang memperkuat kembali posisi MPR pasca Amandemen UUD 1945. Dan ini semata-mata suatu orasi akademik jadi lepas dari persoalan politik yang berkembang sekarang. Karena hukum tata negara itu bicara norma bukan bicara orang,” ungkap Prof. Yusril.

Ditambahkannya bahwa Amandemen UUD ’45 itu telah mengubah secara fundamental posisi MPR.

“Seperti kita ketahui bahwa Amandemen UUD ’45 itu telah mengubah secara fundamental posisi MPR dari yang dulunya dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, pelaksana kedaulatan rakyat, berwenang mengubah UUD, memilih presiden dan wakil presiden dan menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun sekarang dipreteli habis sehingga kedudukan MPR menjadi sama kedudukannya dengan lembaga-lembaga yang lain,” tambahnya.

Menurut pakar hukum tata negara tersebut ini terdapat satu perubahan yang sangat fundamental dalam ide dasar bernegara sebagai sebuah bangsa.

“Tanpa kita sadari negara kita sekarang ini sudah berbeda jauh dengan yang diproklamasikan pada tahun 1945 . Karena konsep tentang MPR itu diangkat dari konsep masyarakat desa. Dimana konsep desa yang berdaulat adalah warga desa seluruhnya. Namun karena warga desa tidak mungkin untuk mengambil keputusan maka diadakanlah musyawarah desa yang dihadiri tokoh-tokoh masyarakat yang utama di desa tersebut dan mereka memusyawarahkan apa saja persoalan yang ada untuk diambil keputusan untuk dilaksanakan bersama,” ujar Prof. Yusril.

Masih menurut beliau, Republik Indonesia sebenarnya bukanlah meneruskan tradisi kerajaan terdahulu namun betul-betul mengangkat ide masyarakat desa menjadi masyarakat modern Republik Indonesia yang sekarang.

“Jika konsepnya tersebut diubah secara fundamental seperti sekarang, MPR tidak lagi di atas DPR ditambah utusan daerah dan golongan, dan memusyawarahkan segala sesuatu sebagai implementasi dari sila ke 4 dari Pancasila. MPR tidak sejalan lagi dengan dasar negara. Karena MPR tidak lagi berfungsi seperti yang dimaksud oleh pendiri bangsa tahun 1945 dulu,”  pungkasnya.

Beliau menganggap kedudukan MPR yang seperti sekarang akan sulit apabila disaat negara menghadapi krisis kedaulatan seperti misalnya tahun 1966/1967. Dimana saat seorang presiden diberhentikan atau terjadi kekosongan kekuasaan maka MPR dapat mengangkat penggantinya atau memperpanjang masa jabatan presiden. Namun dengan posisi MPR sekarang semua itu tidak bisa dilakukan.

“Demikian juga jika pemilu tidak bisa terlaksana, negara dalam keadaan chaos, hukum tata negara kita tidak cukup efektif untuk mengatasi krisis seperti itu. Karena itu saya berpendapat sudah saatnya MPR diperkuat kembali kedudukannya tanpa mengubah UUD ’45 yang ada sekarang tapi MPR dapat membuat ketetapan-ketetapan MPR tanpa dibatasi seperti dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011. Implisit MPR artinya tidak bisa membuat Tap yang baru. Saya ingin MPR diberi kewenangan untuk menyusun ketetapan-ketetapan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis bernegara seperti yang terjadi di tahun 1945 dan 1966/1967. Ini yang saya maksud untuk memperkuat posisi MPR seperti di pidato tadi. Sistem yang baik harus ditopang oleh orang yang baik, dan orang tidak baik jika hidup dalam sistem yang baik akan dipaksa jadi baik. Sebaliknya jika orang baik hidup dalam sistem yang buruk maka dia terpaksa harus jadi orang jahat,” tutup Prof. Yusril.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.